Setiap kali membaca puisi apa sebenarnya yang tengah kita rasakan. Adakah kita benar-benar paham terhadap susunan kata yang seringkali menjalin kekusutan itu. Seolah sebuah dunia yang lain tengah berdiri tegak di samping dunia kita yang sehari-hari ini. Dunia itu begitu gelap sehingga dengan sedikit cemas kita memandanginya. Seperti cerita-cerita di film horror, kita tengah berdiri di depan sebuah rumah yang kusam. Hari begitu gelap, mendung menjelang hujan yang sepertinya akan lebat, dan tujuan kita masih belum jelas dalam sebuah perjalanan yang mengambang, dan dengan terpaksa sang tokoh melangkahkan kakinya ke arah rumah. Di dalam rumah yang gelap, kegagapan membuat rasa takut tumbuh, namun rasa penasaran membuat kita mencari-cari jawab atas ketakutan kita.
Puisi seringkali menawarkan kecemasan, ketika kita sodorkan ia ke hadapan publik pembaca yang awam. Orang-orang seringkali bertanya,”apa maksudnya ini?” Atau malah ada juga yang berusaha menikmatinya dengan semacam kebanggaan yang labil; terlihat memahami puisi membuat semacam prestise tersendiri, karena dengan demikian seseorang dianggap berbudaya. Dalam peristiwa-peristiwa pembacaan puisi sering kita lihat orang yang manggut-manggut seperti terbius oleh sesuatu, di sampingnya beberapa orang penyair yang asyik berbicara tentang karyanya sendiri-sendiri dengan menafikan orang yang dengan perasaan yang begitu ekspressif, tampak pada wajah dan gesture tubuhnya, membacakan puisinya atau puisi temannya, atau puisi seseorang yang tak penah dikenalnya.
Sejauh mana sebenarnya puisi memiliki relasi yang intensif dengan kehidupan, dengan keseharian? Mungkin tak ada.. Tapi apakah puisi itu sebenarnya?
Sejauh yang saya pahami, puisi adalah ungkapan yang paling halus tentang kehidupan, seperti desir angin (meski terkadang juga seperti badai yang mengejutkan kita). Dalam pernyataan tertulis puisi sering mencoba menjauhkan dirinya dari kemapanan. Lihatlah bagaimana EYD di waktu yang lampau begitu tidak digubrisnya; setiap penyair berusaha menulis dengan bahasanya sendiri, dengan bahasa yang diharapkannya menginspirasi orang sesudahnya (atau di sebelahnya).
Ada juga puisi yang begitu lugas. Tak ingin bersembunyi di balik teka-teki kata, dan seolah bicara dengan naifnya. Seolah tak mau mengerti keterbatasan dan usaha orang lain. Puisi-puisi penggugatan seperti ini lahir dari kecemasan dan kekhawatiran (rasa sayang yang berlebihan). Menyentil perasaan, diharapkan menggugah kesadaran (kesadaran siapa dan kesadaran bagaimana?) Tapi percaya sajalah, semua itu lahir dari ketulusan—dari ruang yang begitu kosong, entah di mana.
Memang, semuanya kembali kepada pembaca, bagaimana memaknai bacaannya. Bagaimana memaknai ketulusan orang lain. Dan hanya pembaca yang tulus tentunya dapat menerima segalanya, bahkan cacian serupa sampah (bahkan di tumpukan sampah seorang pemulung yang lihai dapat menemukan hal yang berguna, bisa dijual dan memberikan makna tersendiri bagi kehidupan.)
Seperti halnya seorang penyair yang memunguti kata-perkata, ia menyeleksi materi yang akan diangkatnya. Menyortir dan membersihkan kata dari konteksnya semula dan menempatkannya pada konteks lain yang lebih segar. Lalu kata diharapkan menyublim dan menginspirasi. Menyentuh dan memberi ruang tersendiri.
Saya lalu teringat kepada Dian (Nahdiansyah Abdi—seorang penyair), ketika mengungkapkan proses kreatifnya menggiati kata. Dian bilang: ada tiga hal yang terkait dengan puisi; pertama proses penciptaan, kedua publikasi, dan ketiga pembacaan puisi. Di bagian yang pertama ia bilang demikian asyiknya, karena di sanalah ruang bermainnya. Ia bermain; mengotak-atik kata, membantingnya, mengolahnya dengan keleluasaan anak-anak, sehingga kadang berjarak—terkadang begitu sesak, karena terlalu dekat, bahkan merasuk. Pada saat publikasi, Dian menjadi dewasa—ia merasa tumbuh di sana. Ia harus menyortir, memperbaiki ejaan dan berhitung dengan lingkungannya. Di sinilah kepiawaiannya diuji, karena ia berhadapan dengan kenyataan di sana—dan untuk itu ia harus siap ditolak. Dan yang terkahir adalah pembacaan puisi, dan bagian inilah yang menciutkan Dian, karena ia merasa bukan seorang penghibur—dalam konteks pertunjukan—yang bisa ceria menyenangkan hasrat penonton. Sederhana saja, Dian seorang—yang memakai bahasanya—demam panggung-an.
Panggung. Di wilayah pembacaan puisi yang bersifat teatrikal, seorang penyair seringkali begitu sangat egoisnya. Merasa superior. Sering beronani sendiri. Lupa pada hasrat penontonnya, yang seringkali dan banyak kali penyair juga. Ia bermegah-megah dengan gaya yang dramatis. Berpanjang-panjang membaca sajak. Dan begitu turun panggung bicara sendiri, tanpa memperhatikan orang yang membaca puisi kemudian (kecuali kalau yang membaca kemudian itu Rendra, atau Tarji, atau Emha dan empu-empu deklamator terkenal lainnya.) Hal ini sering saya temui pada pergelaran-pergelaran sastra seumumnya di Banjarmasin dan sekitarnya. Semisal peristiwa poetry reading; river side (ini kata yang saya susun sembarang, mengingat saya lupa nama acara tersebut sebenarnya) yang lalu. Beberapa calon penampil asyik bicara sesamanya sendiri saat orang lain membaca puisi di depan mereka (hanya beberapa sih yang benar-benar suntuk memandang penampil, entah ngantuk atau suntuk beneran.) Bebarapa penampil berlama-lama, karena mungkin memang lama mempersiapkan dirinya sebelumnya, saat membaca—alpa pada orang-orang yang bengong di hadapannya. Lalu setelah turun panggung, ada malah yang langsung pulang, dengan alasan sudah kemalaman, sementara yang lain begadang menunggu gilirannya. Mungkin ada juga yang benar-benar menikmati suasana.
Begitu juga saat Gelar Sastra Memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-63, di Taman Budaya Kalsel beberapa waktu yang lewat. Jelas-jelas seorang penyair senior mengajak saya bicara saat penyair lain membacakan puisinya di panggung. Padahal saya ingin mendengar pembacaan puisi itu. Padahal saya ingin terlihat-terkesan menikmati pembacaan puisi, dan dianggap penyair—kalau saya dianggap penyair—yang apresiatif. Inilah absurdnya. Tapi tak apa, tampaknya itu lumrah di mana-mana, karena penyair juga manusia.
Adakah kita benar-benar paham terhadap susunan kata yang seringkali menjalin kekusutan itu? Inilah pertanyaan yang saya ulang kembali, untuk menggugat pemahaman (baca: pemaknaan) kita terhadap puisi—yang kita baca atau kita tulis sendiri. Adakah benar-benar motif keindahan itu yang menggugah kita. Momen estetik yang bagaimana yang menginspirasi. Ataukah kita hanya latah belaka; tak ingin dianggap ketinggalan gaya/ trend dalam hal berbudaya. Lalu kita menulis (sajak) seasyiknya saja. Entahlah.***
Entahlah … kalau bagi saya, membaca … ada sinyal ke ulu hati, terus … kalau ngak ada sentuhan … lewat
Inilah masalah klasik kaum seniman,kawan; narsis, amatir, dan individual !
Ass.
puisi bisa menjadi tempat persembunyian, karena ada ruangnya yang gelap. namun, meskipun dalam kegelapan tidak berarti kehilangan imajinasi dan sentuhan. malah, ruang puisi yang gelap itulah yang memberikan jalan bagi subjek melakukan perabaan yang terkadang bisa menyatukan apa yang dirasakan dengan apa yang dipikirkan.
Tepuk tangan dalam pembacaan puisi (tak terkecuali Rendra, Tardji, Emha) hanya suatu “jeda” dalam saling silang subjek dalam berinteraksi dengan anggapan “objek” dihadapannya/didekatnya. Pembacaan puisi tidak lebih dari selesainya tepuk tangan, lalu berulang, dan yang terdengar hanya tepuk tangan.
ya.., “Mengapa Puisi?”
Amun kawa jangan “Gelap” judulnya, tagal “Kadap”, he he he he.
Entahlah….